MEMAKNAI TERTANGKAP TANGAN (OTT) OLEH KPK
Pertama, KPK sebelum melakukan OTT sudah pasti didahului serangkaian tindakan penyadapan dalam jangka waktu tertentu. Hasil penyadapan pada dasarnya bukti permulaan terjadinya suatu tindak pidana.
Kedua, berdasarkan Pasal 12 UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kewenangan KPK melakukan penyadapan bukan pada tahap penyidikan, melainkan penyelidikan. Penyelidikan adalah tahap awal proses perkara pidana sebelum penyidikan. Artinya, penyadapan dilakukan masih pada tahap untuk menentukan ada tidaknya suatu tindak pidana.
Ketiga, OTT hanyalah untuk mengonkretkan serangkaian tindakan penyadapan yang telah dilakukan sebelumnya sehingga bukti permulaan yang telah diperoleh akan menjadi bukti permulaan yang cukup. Artinya, perkara tersebut sudah dapat diproses secara pidana karena memiliki minimal dua alat bukti.
Keempat, per definisi tertangkap tangan dalam Pasal 1 Angka 19 KUHAP, sangatlah mungkin seorang pejabat yang ikut ditangkap dalam OTT tidak terdapat satu dari empat keadaan tersebut karena dapat saja uang atau barang bukti yang jadi obyek suap belum ada atau tidak ada di tangan pejabat tersebut. Artinya, tindak pidana penyuapan itu belum selesai atau masih dalam tahap percobaan.
Di sini terjadi apa yang dalam teori percobaan disebut geschorte poging atau tentatif, atau dalam literatur Jerman disebut unbeendigter versuch atau percobaan terhenti.
Dalam konteks demikian, tidak mungkin uang suap atau barang bukti yang jadi obyek suap ada di tangan pejabat publik.
Namun, perlu diingat, berdasarkan Pasal 15 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, percobaan melakukan tindak pidana korupsi sama dengan perbuatan pidana korupsi yang telah selesai. Dengan demikian, pejabat publik yang ditangkap KPK dalam OTT-meskipun masih dalam konteks percobaan dan tanpa suatu keadaan menurut Pasal 1 Ayat 19 KUHAP-tetap disebut tertangkap tangan. (RUL)