DEMOKRAT, BELAJARLAH PADA HTI JIKA TIDAK INGIN DI HTI-KAN
Oleh : *Ahmad Khozinudin*
Sastrawan Politik
Saya ingin menegaskan, tidak ada satupun argumentasi hukum yang dapat melegitimasi Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang yang mendapuk KSP Moeldoko sebagai Ketua Umum. Dari dasar pelaksanaan KLB, tidak sah. Soal KLB yang menghasilkan Moeldoko sebagai Ketum, lebih tidak sah lagi. Karena itu, tepatlah pernyataan AHY bahwa KLB KSP Moeldoko ilegal dan inkonsistitusional.
Namun isu KLB Partai Demokrat adalah isu Politik, bukan isu hukum. Dalam politik, kekuasaan itu lebih ‘Supreme’ ketimbang hukum. Bahkan, kekuasaan dapat ‘Menciptakan Hukum’ untuk melegitimasi tindakannya.
Saya ingin mengajak Partai Demokrati belajar pada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Siapapun akan sepakat, tidak ada satupun alasan hukum untuk mencabut BHP HTI. Tudingan Khilafah akan memecah-belah, bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45, hanyalah narasi politik, bukan bukti hukum.
Namun apa yang dialami HTI ? HTI tetap dicabut Badan Hukum Perkumpulanya.
Apakah pencabutan itu berdasarkan hukum, melalui proses pengadilan ? Tidak. Sekali lagi, pencabutan BHP HTI adalah isu politik bukan isu hukum. Karena itu, mudah saja kekuasaan politik menciptakan hukum untuk melegitimasi narasi politiknya.
Pada kasus HTI, penguasa akhirnya menerbitkan Perppu Ormas untuk melegitimasi Tudingan Khilafah akan memecah-belah, bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45. Dengan Perppu itulah, HTI dicabut BHP nya. Tidak terima ? Silahkan gugat ke pengadilan. Akhirnya ? HTI dikalahkan di pengadilan.
Begitu juga dengan Partai Demokrat. Pagi tadi, saya telah menulis artikel mengingatkan kepada Pak SBY, agar tidak terlalu PeDe dengan posisi hukum. Karena ini isu politik, dan KSP Moeldoko bukanlah orang yang mampu memperhatikan unggah ungguh politik. Kehadirannya di KLB dan penerimaan atas posisi Ketum PD-KLB, adalah konfirmasi karakter politik seorang Moeldoko, yang dapat anda tafsirkan sendiri.
Partai Demokrat tak bisa PeDe merasa lebih legal dan konstitusional. Partai Demokrat tak bisa sesumbar telah mengantongi SK Kemenkumham, AD ART nya telah disahkan dan tercatat di Lembaran Negara.
Bagi kekuasaan, mudah saja untuk memberikan stempel legal kepada PD-KLB, berikut melegalisasi seluruh AD ART yang dihasilkannya. SK Kemenkumham kapanpun bisa diterbitkan, terlepas Partai Demokrat bisa menggugatnya.
Dan untuk ‘membubarkan’ Partai Demokrat, kekuasaan tak perlu repot-repot menerbitkan Perppu seperti pada kasus HTI. hanya dengan menggunakan tangan Kemenkumham, soal itu mudah dilakukan. Tentu tidak dalam waktu dekat ini, menunggu kelengkapan struktur PD-KLB dilengkapi hingga tingkat Wilayah dan Daerah, dan pada momentum yang pas.
Momentum itu menjelang Pemilu dan Pilpres. Tidak akan dalam waktu dekat ini. Kecuali, ada skenario lain ingin lebih cepat mengeksekusi rencana.
Saat SK Pengesahan dari Kemenkumham diterbitkan untuk PD-KLB, saat pendaftaran partai peserta Pemilu oleh KPU yang diterima adalah PD-KLB dengan SK terbaru, selesailah Demokrat. Apalagi, jika sambil menyusun struktur KSP Moeldoko bisa menarik gerbong lebih banyak lagi dari Partai Demokrat.
Sekali lagi saya ingatkan, Partai Demokrat belajar lah pada kasus HTI. Setiap saat, Partai Demokrat bisa dieksekusi mati.
Dalam kasus HTI, pasca dicabut BHP nya tak soal karena tujuannya hanya dakwah bukan kekuasaan. Tanpa BHP, anggota HTI tetap bisa melanjutkan dakwah.
Tetapi bagaimana dengan Partai Demokrat ? Tanpa SK Kemenkumham, tak akan bisa ikut Pemilu. Yang bisa ikut Pemilu SK PD-KLB yang telah dilegitimasi penguasa. Kalau tidak bisa ikut Pemilu, buat apa Partai Demokrat ada ? Bukankah tujuan partai itu berkuasa ? Tak bisa ikut Pemilu, berarti tak bisa ikut berkuasa. (RUL)