Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia : Quo Vadis Vaksin Dalam Negeri
JAKARTA. Bahwa saat ini banyak isu politik terhadap vaksin dan pemerataanya , apalagi jika diteliti terhadap produk vaksin tersebut yang masih banyak menjadi perbincangan produk mana yang baik?
Menurut Biren Aruan perwakilan Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia menduga Pharmacitical Lobby dalam ruang lingkup Farmasi baik internasional maupun nasional.
“Kebingungan saya dan Tim Advokasi sebagai masyarakat semakin dapat terjawab. Di Amerika perusahaan farmasi besar biasa melakukan lobby ke kongres untuk meloloskan produk mereka. Di Indonesia, melakukan lobby ke DPR adalah perbuatan tercela. Sama dengan korupsi dan akan berurusan dengan KPK”.
“Biaya lobby yang dikekuarkan perusahaan farmasi tersebut sangat besar. Pfizer adalah salah satu yang mengeluarkan lobby sangat besar pada awal merebaknya corona virus. Dampaknya sangat berbahaya.” Ujar Biren.
Dalam pemberitaan di CNBC 26 April 2021, pada artikel berjudul “Israel Temukan Efek Samping Vaksin Corona Buatan Pfizer”, disebutkan, Kementerian Kesehatan Israel sedang memeriksa sejumlah kecil kasus radang jantung atau miokarditis pada orang yang telah menerma vaksin. Israel sendiri telah menggunakan Pfizer-Biontech sebagai vaksin utama dalam kampanye vaksinasinya.” Tandas Biren.
“Sepanjang tahun 2020 Pfizer dan perusahaan farmasi besar lainnya telah mengeluarkan $ 47.739.500 untuk biaya lobby dan kampanye. Pfizer sendiri rela menggelontorkan $ 5.095.000 pada tiga bulan pertama di tahun 2020. Kaitlyn Bartley dari STAT News.com menyebutkan “Pfizer’s PAC sangat aktif dalam melobi anggota kongres, ada sekitar 548 amplop yang sudah diberikan ke anggota Kongres dan kelompok2 Industri, yang jumlahnya lebih besar dari anggota Kongres dan senat yang terpilih” tegas Biren.
Selain itu Biren menerangkan tidak bermaksud menyudutkan perusahaan2 farmasi tersebut, karena di Amerika hal tsb legal.
“Walau banyak Focus Discussion Group yang mempersoalkan hal ini. Tapi secara politik pratek lobbying ala Amerika tsb saya berani katakan telah merubah Amerika dari negara Meritokrasi menjadi Plutokrasi. Orang-orang kaya mengatur negara. Mereka memakai jasa lawfirm besar untuk meloloskan penelitian, uji klinis bahkan harga produk mereka di pasaran”.
“Pada titik ini, dalam kaitan dg vaksin covid-19, mungkin kita lebih percaya pada produk-produk farmasi di luar Amerika utamanya Tiongkok. Obat non tradisional China diawasi ketat oleh CSFDA (Chinese State Food and Drug Administration). Meski tidak ada jaminan bahwa 100% semua obat yang beredar pasti aman, namun bisa dipastikan tidak ada keberanian perusahaan farmasi untuk melobby pemerintah atau polit biro untuk meng-goalkan produk farmasinya. Bisa digoyang kayak Jack Ma dengan Ant Group-nya.”
“Tindakan BPOM menghentikan vaksin buatan Indonesia, yang diinisiasi oleh Dr. Terawan, mungkin ada benarnya. Namun langkah yang dilakukan Jendral Andika untuk melanjutkan penelitian yang dilakukan Terawan dengan berbasis sel dendritik dengan menggunakan metode imunologi dapat menjadi jalan keluar karena tidak perlu ijin edar dari BPOM. Dan nasionalisme dg menggunakan produk anak bangsa tetap terjaga.”
Menurut Indra Rusmi, mengenai vaksin dalam negeri patut kami katakan ” Quo Vadis (Kemanakah-red) Vaksin Dalam Negeri?
“apa salahnya sih pemerintah melakukan riset lebih dalam terhadap covid 19 maupun vaksin secara mandiri dalam negeri?”
“jika dilihat obat2an saja banyak dari tumbuhan dari alam, maka indonesia merupakan negara kaya sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar pengobatan.” Tutup Indra. (RUL)