JAKARTA. Bireven Aruan, mewakili Tim Advokasi mengatakan bahwa dengan telah ditemukannya secara tidak sengaja obat anti covid yang bernama Ivermectin yang telah dipublikasikan di berbagai media, apakah Perpres 14 tahun 2021 masih relevan.
“Perpres 14 tahun 2021 adalah tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksin. Perpres tersebut adalah sebagai perubahan atas Perpres 99 tahun 2020.”
“Dengan Perpres tersebut Pemerintah punya dasar untuk mengadakan penyediaan vaksin dan juga penelitian serta pengembangan vaksin dengan cara bekerja sama dengan lembaga manapun baik nasional maupun internasional. Itu bagus.” Ujar Bireven
“Yang jadi soal adalah ketentuan sanksi bagi mereka yang tidak bersedia divaksin, sementara obat anti covid19 katanya sudah ditemukan, yang bernama Ivermectin.”
“Ivermectin pada dasarnya adalah obat cacing, tapi secara ilmiah terbukti dapat membunuh virus covid 19.” Jelas Bireven
“Adapun Sanksi yang dimaksud apabila menolak di Vaksin berupa sanksi administrasi pemerintahan. Hal ini sudah sangat tidak relevan untuk diterapkan.” Tandas Bireven
“Jika mencermati Pasal 13a ayat (4) berbunyi demikian “Setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima Vaksin COVID- 19 yang tidak mengikuti Vaksinasi COVID- 19 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif, berupa: a. penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial; b. penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan; dan/atau c. denda, hal itu menjadi tidak dapat diterapkan dalam hal obat Covid-19 sudah ditemukan.”
Erwin Purnama perwakilan lainnya menyatakan mengenai sasaran penerima Vaksin COVID-19 ini, sangat merugikan bagi orang yang tidak penerima Vaksin COVID-19 karena ingin mengurus ke administrasi pemerintah memerlukan sertifikat Vaksin Covid-19.
“Ini kan jadi sangat sulit membedakan secara kasat mata orang tersebut apakah sebagai penerima Vaksin COVID-19 atau bukan penerima Vaksin COVID-19, karena anak muda maupun orang tua pasti ada yang bukan penerima Vaksin COVID-19 (karena adanya penyakit)”
“Apakah mereka setiap mengurus ke administrasi pemerintah harus selalu ke LAB dahulu untuk mendapatkan hasil agar dapat pelayanan administrasi dari pemerintah, hal ini juga perlu diperhatikan mengenai Pasal 13a ayat (4) untuk ke depannya.” tutur Erwin Purnama
Selain itu Bireven menerangkan beberapa hal.
“Pertama, kalau tujuan kesehatan dalam arti herd imunity sudah terbentuk tanpa perlu divaksin, apakah wajar masih mengenakan sanksi seperti itu? Sanksi ini dalam praktek akan sangat mengganggu hak perdata warga negara.”
“Kedua, dari sisi Anggaran tentu pembelian vaksin sudah sangat membebani APBN. Tetapi seharusnya Pemerintah tidak lagi meletakkan tanggungjawab fiduciaire kepada Warga Negara akibat over supply vaksin dengan berkurangnya warga yang belum atau tidak mau divaksin.”
“Ketiga, sebagai keperluan data, pemerintah menerbitkan Sertifikat tanda telah divaksin, hal ini bagus. Namun sebaliknya hal ini pun dapat mempersulit masyarakat yang tidak memiliki karu vaksin dalam menyelesaikan masalah administrasinya di berbagai tingkat dan instansi seandainya dipersyaratkan untuk menunjukkan Sertifikat vaksin.”
“Sehingga peran NIK dikalahkan oleh Sertifikat vaksin. Hal ini bisa terjadi dan sah selama pasal 13a ayat (4) tidak dirubah atau dicabut.” Tegas Bireven
Perwakilan lainnya Hema Simanjuntak menyatakan, “tidak semua warga negara juga yang dengan kondisi fisik tertentu dapat di vaksin, apakah mereka akan kehilangan hak-hak kewarganegaraannya juga dan hak-hak sipil lainnya?”
“Itulah kenapa Pasal 13a ayat (4) ini sejak awal tidak relevan dan tidak konsisten dengan kemampuan pemerintah menyediakan suplai vaksin tersebut” papar Hema Simanjuntak.
Indra Rusmi ,perwakilan lainnya juga menambahkan “seharusnya pemerintah lebih objektif dalam menerapkan hukum sesuai hirarki undang-undang, tidak serta merta dengan kondisi covid 19 saat ini dengan cara memaksakan semua warga masyarakatnya diwajibkan vaksin dengan menggunakan sistem wajib vaksin.”
“Nah sistem wajib vaksin itu kan mewajibkan setiap orang memiliki Sertifikat vaksin, kan aneh jika tidak mempunyai bukti Sertifikat vaksin maka segala administrasi keperluan di negara indonesia tidak dapat dilayani, kok jadi Sertifikat vaksin lebih hebat saat ini dibanding Sertifikat tanda penduduk.” Tutup Indra
Tim Advokasi Indonesia merupakan Komunitas Advokat yang diinisiasi oleh Bireven Aruan, Johan Imanuel, Indra Rusmi, Erwin Purnama, Jarot Maryono, Hema Anggiat Marojahan Simanjuntak, Alvin Maringan. (RUL)