Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyinggung lagi upaya menekan impor gandum dengan sorgum. Sumber pangan alternatif itu disebut Jokowi tumbuh subur di Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia pun mengajak anggota Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) mencoba menanam sorgum demi substitusi impor 11 juta ton gandum
JAKARTA. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyinggung lagi upaya menekan impor gandum dengan sorgum. Sumber pangan alternatif itu disebut Jokowi tumbuh subur di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Ia pun mengajak anggota Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) mencoba menanam sorgum demi substitusi impor 11 juta ton gandum.
“Barang-barang yang kita impor, mau tidak mau harus kita hentikan, supaya devisa kita tidak habis membayar. Yang masih impor apa? Gandum, 11 juta ton. Di Indonesia tidak bisa tanam gandum, tanam sorgum,” katanya saat memberi pengarahan kepada pimpinan Kadin di TMII, Jakarta, Selasa (23/8).
Sorgum, lanjut dia, bisa dicampur dengan cassava, dicampur sagu. “Saya ajak bapak ibu sekalian misalnya, ada Kadin NTT? Tanam sorgum. NTT tempatnya. Sangat subur sekali,” ungkapnya.
Tak perlu muluk-muluk hingga ribuan hektare (ha), Jokowi berpesan kepada anggota Kadin untuk memulai dulu dengan 10 ha. “Benar gak sih presiden (saya) ngomong bener nggak?” tantangnya.
Awal Juni 2022 lalu, Jokowi melawat ladang sorgum PT Ade Agro Industri di Laipori, Waingapu, Sumba Timur. Dari 400 ha lahan milik perusahaan, 100 ha di antaranya ditanami sorgum.
“Kami akan memperbesar tanaman sorgum ini di Provinsi NTT dengan harapan kami memiliki alternatif pangan dalam rangka krisis pangan dunia. Kalau kita ada berlebih, ada stok, ya nggak apa-apa, justru ini yang ingin kami ekspor dan menghasilkan devisa bagi negara,” ujar Jokowi.
Namun, keinginan Presiden Jokowi tersebut agak perlu proses untuk merealisasikannya. Sesuai dengan apa yang dikatakan Ketua Umum GAPMMI, Adi Lukman bahwa sejatinya sorgum berpotensi menggantikan gandum sebagai bahan baku utama mie, roti, dan snacks lainnya. “Selama bertahun-tahun lamanya gandum adalah sumber pangan karbohidrat tepung-tepungan yang paling murah, sehingga jika ingin diganti dengan sorgum, harus diperhitungkan daya saingnya,” jelasnya.
Daya saing yang dimaksud adalah penanamannya terintegrasi, didukung oleh teknologi benih, dan memiliki produktivitas tinggi. Selain itu, biaya distribusinya pun harus turut diperhitungkan. Semisal, produksi sorgum dekat dengan industri pengolahan mi instan, roti-rotian, dan lain sebagainya.
Senada dengan Adi Lukman, Franky Wellirang, CEO Bogasari, yang mengingatkan mengolah gandum menjadi tepung berbeda dengan mesin pengolahan sorgum. Ini berarti, ada investasi yang harus digelontorkan perusahaan untuk membeli mesin pengolah sorgum.
“Masalahnya, tidak ada konsistensi tanam sorgum dari Kementerian Pertanian. Ini hilang timbul. Jenis sorgumnya pun tidak tahu alias asal-asalan. Kalau kayak begitu, siapa yang mau investasi? Masalah lain, tidak jelas pengembangannya,” terang dia.