JAKARTA – Di tengah suasana Ramadhan 1445 H dan kondisi politik yang masih panas menjelang pengumuman Pemilu 2024, ada satu momentum penting yang nyaris terlupakan.
Ya, hari ini Jumat, 15 Maret 2024 bertepatan dengan Hari Internasional Melawan Islamofobia (Combating Against Islamophobia) yang telah ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2022 lalu.
Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri, memiliki sumbangsih besar dengan keluarnya resolusi PBB tentang Hari Internasional Melawan Islamofobia tersebut. Bukan hanya Kemlu, Kemenag juga mendukung adanya Hari Melawan Islamofobia itu.
Di tengah banyaknya kalangan yang nyaris lupa dengan momentum hari ini, Masyarakat Indonesia Anti Islamofobia (MIAI) yang diketuai KH Bachtiar Nasir (UBN) muncul dengan sejumlah agenda sekaligus mengeluarkan sejumlah resolusi.
“Kami menentang berbagai bentuk Islamofobia yang terjadi di masyarakat Indonesia dan dunia, yang disimpulkan menjadi lima bentuk Islamofobia. Islamofobia kultural, Islamofobia religius, Islamofobia politik, Islamofobia kemanusiaan, dan Islamofobia genosida,” ungkap UBN –sapaan akrabnya– saat membacakan resolusi MIAI di Kantor Perkumpulan AQL, Jakarta, Jumat malam (15/03/2023).
Kemudian, MIAI juga menyerukan untuk menghentikan berbagai prasangka buruk terhadap Islam dan umat Islam, seperti sematan kata: radikal, kekerasan, intoleran dan berbagai sematan negatif lainnya.
“Karena sejatinya Islam adalah agama cinta damai, dan segala bentuk terorisme pada hakikatnya adalah tindakan tak beragama,” ungkap pimpinan Perkumpulan AQL itu.
Selanjutnya, UBN juga mengatakan, pihaknya menuntut penghentian berbagai kekerasan terhadap Islam dan umat Islam seperti kekerasan verbal dan fisik berdasarkan kebencian terhadap Islam, pengusiran, kekerasan seksual, dan berbagai kekerasan lainnya yang puncaknya adalah genosida kemanusiaan.
“Kami menentang berbagai bentuk diskriminasi terhadap umat Islam, seperti diskriminasi menjalankan semua nilai dan ajaran Islam baik yang bersifat simbolik maupun subtantif,” ungkap Ketua Umum Jalinan Alumni Timur Tengah di Indonesia (JATTI) itu.
Selanjutnya, MIAI juga menuntut dihentikannya segala macam bentuk ujaran kebencian, seperti hinaan (bullying), penyebaran informasi-informasi yang salah, dan pelecehan terhadap simbol-simbol Islam, di semua platform media suara, tulis, video, analog dan digital.
Dalam konteks hukum di Indonesia, MIAI juga mendorong agar segera disusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti Islamofobia oleh Pemerintah dan DPR.
“Kami mengimbau para akademisi dan aktivis untuk melakukan penelitian dan membuat naskah akademik Rancangan Undang-Undang Anti Islamofobia,” kata UBN. (ZAN)