Oleh : Pradani Nur Ngizzati (Mahasiswa Psikologi Islam di UIN Raden Mas Said Surakarta)
Ali bin Abi Thalib merupakan salah satu sahabat Rasulullah dan juga menantu beliau setelah menikahi putri beliau, yaitu Fatimah r.a.
Dalam usia remajanya, Ali langsung menerima didikan langsung dari Rasulullah sebagai balasan atas kebaikan pamannya, Abi Thalib, yang telah merawat Rasulullah setelah kakeknya meninggal. Karena didikan tersebut, karakter Ali sangat dipengaruhi oleh karakter Rasulullah.
Dia memiliki tekad kuat untuk mengajarkan manusia bagaimana meneladani dan mengikuti Rasulullah dalam segala aspek kehidupan, termasuk ucapan, perbuatan, dan ketetapan-ketetapannya. Ali mengajarkan pentingnya taat kepada ajaran-ajaran Nabi, mengikuti sunnahnya, dan selalu menghormati serta mematuhi beliau.
Sebagai pemimpin dan pendidik umat, kepemimpinan Ali penuh dengan nilai-nilai yang bisa dijadikan teladan bagi pemimpin Islam kontemporer.
Dalam kitab Nahjul Balaghah, terdapat banyak nilai kepemimpinan pendidikan yang diperlihatkan oleh Ali bin Abi Thalib. Ali adalah sosok yang religius dan menjadi contoh bagi orang lain. Dari usia remajanya, Ali sudah mendapat didikan karakter yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an yang diberikan oleh Rasulullah.
Ali sangat teguh dalam ibadahnya, seperti berpuasa dan melakukan shalat malam. Dia juga rajin memotivasi kaum muslimin untuk tetap bertakwa kepada Allah dan selalu merasa diawasi oleh-Nya. Ali selalu mengingatkan bahwa perjalanan menuju akhirat adalah perjalanan yang panjang dan membutuhkan usaha yang sungguh-sungguh, terutama di waktu malam.
Karakter religius yang dimiliki Ali adalah kesetiaan yang tulus kepada ajaran agama yang dianutnya. Dia juga toleran terhadap keberagaman dalam beribadah dan hidup harmonis dengan pemeluk agama lain. Religiusitasnya tercermin dalam ketaatan penuh kepada Allah, menjalankan seluruh perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya.
Ali bin Abi Thalib adalah seorang sosok yang sangat dihormati dan dianggap cerdas di kalangan para sahabat Rasulullah. Dia memiliki pengetahuan yang luas, seringkali menjadi tempat para sahabat mengajukan pertanyaan tentang masalah-masalah hukum agama yang rumit atau untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an beserta tafsirannya.
Tak hanya sekadar menjelaskan tafsir, tetapi dia juga mampu memberikan konteks tentang turunnya ayat-ayat, seperti tentang apa, siapa, di mana, dan kapan diturunkannya. Orang-orang bahkan meminta fatwanya dalam menghadapi situasi yang sulit. Ibnu Abbas, seorang mufasir terkemuka di kalangan sahabat, pun belajar menafsirkan Al-Qur’an dari Ali bin Abi Thalib.
Sebelum Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah, para khalifah khulafaurrasyidin sebelumnya menganggapnya sebagai seorang penasihat yang bijaksana. Pandangannya yang dalam dalam berbagai masalah membuat keputusannya dihormati oleh berbagai kalangan, bahkan oleh mereka yang biasanya memusuhi Islam, seperti Yahudi.
Rasulullah sendiri pernah meminta bantuan Ali bin Abi Thalib untuk menyelesaikan masalah yang rumit di Yaman. Rasulullah juga mendoakan agar Ali bin Abi Thalib diberikan kekuatan dalam tutur katanya dan tetap mendapat bimbingan dalam hatinya.
Gelar “al-Imam” yang melekat pada Ali bin Abi Thalib mungkin karena kemampuannya dalam menafsirkan Al-Qur’an dan memberikan ceramah agama di Masjid Nabawi. Dia bukan hanya seorang imam dalam arti agama, tetapi juga seorang pujangga dan guru.
Kecerdasan Ali bin Abi Thalib juga terbukti dalam kebijakan-kebijakan yang dia ambil saat menjabat sebagai khalifah. Dia dapat menyesuaikan politiknya dengan situasi yang dihadapinya dengan sangat baik.
Para ahli dan kritikus sejarah mengakui bahwa kebijakan politiknya selalu didasarkan pada kebenaran dan membawa keamanan di masa depan. Ali bin Abi Thalib selalu berusaha menjaga stabilitas umat dengan menghindari perpecahan yang lebih besar, dengan mempertimbangkan jangka panjang.
Sebagai seorang pemimpin, Ali bin Abi Thalib sangat terhubung dengan rakyatnya, terutama yang kurang mampu dan membutuhkan bantuan. Dia sering mengunjungi pasar untuk lebih dekat dengan rakyat kecil dan memberikan nasihat tentang keimanan.
Ali juga rajin menyurat kepada bawahannya, mengingatkan mereka untuk melayani rakyat dengan baik, karena baginya, tugas seorang pemimpin adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Sejak muda, Ali selalu dermawan untuk kebaikan dan kebangkitan Islam. Dia rela mengorbankan jiwa dan harta demi meraih surga yang dijanjikan, tanpa tergoda oleh keindahan dunia yang fana. Meskipun memiliki kesempatan untuk tinggal di istana megah, Ali tetap memilih tinggal di rumah sederhana. Bagi Ali, hidup adalah tentang berbuat baik dan mendekatkan diri kepada Allah.
Ali menyadari pentingnya bersedekah dan berdakwah untuk membangun umat dan menyadarkan mereka dari kebinasaan. Dia menganggap sifat dermawan sebagai sesuatu yang berasal dari niat yang tulus, bukan karena desakan atau malu.
Pendidikan karakter, termasuk kedermawanan, dianggap penting dalam pembentukan manusia yang berkualitas. Penanaman nilai-nilai kedermawanan dapat dilakukan melalui berbagai metode, seperti keteladanan, nasihat, pembiasaan, dan peman-tauan, serta melalui pendekatan perilaku sosial dan perkembangan moral kognitif.
Ali bin Abi Thalib adalah contoh nyata dari kesederhanaan dalam kehidupan. Dia tidak hidup mewah, makan secukupnya, dan memilih pakaian yang kasar untuk menutupi tubuhnya. Ali percaya bahwa kesederhanaan dalam berpakaian membantu menjaga konsentrasi dan khusyuk dalam ibadahnya, serta menjadi teladan bagi orang lain untuk tidak berlebihan dalam hal materi.
Meskipun hidup dalam kesederhanaan, Ali tidak pernah menyesali nasibnya. Dalam setiap kesulitan yang dihadapinya, dia tetap berserah kepada Allah dan siap menghadapi rintangan dengan semangat pengabdian yang tinggi. Baginya, kebahagiaan duniawi tidak sebanding dengan cinta dan ridha Allah dan Rasul-Nya.
Kerendahan hati bukan hanya tentang sikap atau perilaku yang terlihat secara langsung, tetapi nilai yang terpancar melalui interaksi dan tindakan sehari-hari. Ketika seseorang memiliki kerendahan hati, dia akan lebih mudah mengakui kesalahan dan bertanggung jawab untuk memperbaikinya.
Dengan demikian, pendidikan karakter menjadi kunci untuk membentuk individu yang memiliki nilai-nilai positif, termasuk kesederhanaan dan kerendahan hati seperti yang dicontohkan oleh Ali bin Abi Thalib.
Strategi penanaman karakter kedermawanan melibatkan kegiatan sehari-hari, seperti infak harian, baksos, kerja bakti, dan saling membantu saat teman mengalami kesulitan. Hal ini dianggap penting dalam menciptakan masyarakat yang lebih peduli terhadap sesama dan lingkungan sosialnya. (TAL)