JAKARTA. Badan Legislasi DPR RI menggelar rapat pleno penyusunan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Wakil Ketua Baleg DPR RI Willy Aditya menyampaikan, RUU tentang PKS merupakan usul inisiatif Baleg yang sudah disetujui masuk dalam Prolegnas Tahun 2021 pada 14 Januari 2021.
Willy menjelaskan rapat pleno penyusunan RUU PKS yang digelar Senin, (30/8/2021) ini dengan agenda mendengarkan pemaparan tim ahli atas penyusunan draf awal RUU PKS yang terdiri atas 11 bagian atau bab dan 40 pasal setelah sebelumnya telah dilakukan pembahasan dalam lima kali rapat dengar pendapat umum (RDPU).
Tim Ahli Baleg DPR RI Sabari Barus menjelaskan urgensi pengaturan dalam RUU PKS. Barus memaparkan, berdasarkan data Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2011-2019, tercatat 46.698 kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah personal dan rumah tangga dan ranah publik. Dari jumlah itu, sebanyak 23.021 kasus terjadi di ranah publik, berupa perkosaan 9.039 kasus, pelecehan seksual 2.861 kasus dan cybercrime bernuansa seksual 91 kasus.
Barus juga mengungkapkan, kata ‘Penghapusan’ di dalam draf RUU tentang PKS dihapus dan diganti dengan ‘Tindak Pidana’. Tim Ahli Baleg beralasan menggunakan frasa itu karena mengambil pendekatan hukum bahwa kekerasan seksual merupakan Tindakan Pidana Khusus.
“Dari aspek judul, sesuai dengan pendekatan, maka kekerasan seksual dikategorikan sebagai tindak pidana khusus. Sehingga judul sebaiknya menjadi RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” ungkap Barus.
Sebab, kata ‘ Penghapusan’ juga terkesan sangat abstrak dan mutlak. Karena penghapusan berarti hilang sama sekali. Ini sesuatu yang mustahil dicapai di dunia ini. Lebih lanjut, Barus mengatakan bahwa penggunaan judul itu justru akan lebih memudahkan penegak hukum dalam melakukan tugasnya menentukan unsur pidana terhadap pelaku kekerasan seksual. Termasuk pula, judul tersebut dinilai lebih mudah bagi penegak hukum menentukan ancaman hukuman yang memberatkan pelaku.
Adapun draf awal ini berisi 11 Bab yang terdiri atas 40 pasal, meliputi ketentuan umum hingga penutup. “Bab I berisi Ketentuan Umum. Yang perlu kami sampaikan, paling tidak dua hal, sebagai pemantik dalam mengenal RUU ini yaitu definisi Kekerasan Seksual itu sendiri serta definisi Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” ucapnya.
Dalam pemaparan Barus, dituliskan bahwa Kekerasan seksual memiliki definisi, setiap perbuatan yang bersifat fisik dan/atau non fisik, mengarah kepada tubuh dan/atau fungsi alat reproduksi yang disukai atau tidak disukai secara paksa dengan ancaman, tipu muslihat, atau bujuk rayu yang mempunyai atau tidak mempunyai tujuan tertentu untuk mendapatkan keuntungan yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, dan kerugian secara ekonomi.
Sementara,definisi Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam draf RUU ini adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Kemudian, pada Bab II RUU ini mengatur tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Dituliskan, ada lima jenis Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Dituliskan, ada lima jenis Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang diatur dalam setiap pasalnya. Pertama, jenis tindak pidana yaitu pelecehan seksual diatur dalam Pasal 2. Kedua, pemaksaan memakai alat kontrasepsi pada Pasal 3.
“Ketiga Pemaksaan Hubungan Seksual pasal 4. Keempat, eksploitasi seksual itu di pasal 5. Dan Kelima, Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang disertai dengan perbuatan pidana lain di pasal 6,” jelasnya. (RUL)