Peraturan baru yang ditetapkan sedianya menghormati aturan dan perizinan yang sudah dikeluarkan sebelumnya. Tanpa ada masa transisi, aturan baru tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum dan merugikan berbagai pihak. Demikian yang terjadi sejak Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No 03 Tahun 2021 diberlakukan
JAKARTA. Seperti tertera dalam dokumen resmi negara, Permenperin tersebut ditandatangani pada Maret 2021, tanggal efektif berlaku sejak 28 Januari 2021, sementara sosialisasi aturan tersebut baru dilakukan pada April 2021.
Namun, Permenperin tersebut telah menjadi dasar bagi pelaksanaan impor raw sugar yang sudah dilakukan sejak Desember 2020. Impor gula tersebut diberikan kepada perusahaan yang izin usahanya berdiri sebelum 25 Mei 2010, sebagaimana tertera dalam pasal 5 aturan tersebut.
Ahli Hukum Kebijakan Publik dari Universitas Padjajaran Bandung Yusuf Zamil mengatakan, peraturan baru apalagi setingkat peraturan menteri tidak boleh diberlakukan surut. Keberadaan peraturan baru seharusnya menjamin kepastian hukum bagi para pihak yang telah memperoleh izin sesuai dengan peraturan dan ketentuan sebelumnya. Izin tersebut harusnya dinyatakan tetap berlaku, sampai dengan masa waktunya berakhir.
“Dalam Permenperin 03/2021 tersebut tidak diatur masa peralihan atau masa transisi dan diberlakukan surut. Hal ini tentu saja menimbulkan ketidakpastian hukum dan berdampak merugikan bagi para pihak yang sudah berinvestasi atau menyepakati kontrak kerja sama berdasarkan aturan dan izin sebelumnya,” kata dia pada Rabu (16/6/2021) kemarin.
Yusuf menambahkan, kejanggalan lain dalam Permenperin tersebut adalah perbedaan mendasar siapa saja yang bisa melakukan impor raw sugar dengan Permendag No 14 Tahun 2020. Permenperin mengatur pemusatan impor raw sugar hanya kepada perusahaan yang memiliki izin usaha sebelum 25 Mei 2010. Sementara itu, pada Permendag, impor raw sugar dapat dilakukan perusahaan mana saja asalkan memiliki NIB.
Pada Permendag No 01 Tahun 2019 Pasal 4 disebutkan bahwa perdagangan gula rafinasi yang dilakukan pabrik gula harus menyertakan kontrak jual beli dengan industri pengguna. Sementara, Permenperin tersebut memperbolehkan pabrik gula mengajukan kuota impor tanpa harus menyertakan kontrak jual beli.
“Dengan keleluasaan wewenang yang diberikan kepada Kementerian Perindustrian di level Direktur Jenderal untuk mengatur impor gula tersebut, ada kecemasan tersendiri rekomendasi impor gula tersebut dapat disalahgunakan,” katanya.
Sebelumnya, pelaku UMKM dan industri Makanan Minuman di Jawa Timur mengeluh bahwa pemberlakuan Permenperin 03/2021 telah menyebabkan ongkos produksi naik empat kali lipat dari Rp80 per kg menjadi Rp300 – 400 per kg. Hal ini terjadi karena biaya untuk mendatangkan gula rafinasi lebih mahal dari sebelumnya. Pelaku UMKM dan industri Makanan Minuman Jawa Timur harus mendatangkan gula rafinasi dari luar Jawa Timur.
Padahal, ada pabrik gula di Jawa Timur yang selama ini memasok gula rafinasi dengan harga yang lebih efisien. Investasi untuk distribusi gula rafinasi dengan mesin hisap juga sudah dilakukan kedua belah pihak untuk menyerap gula rafinasi cair yang kualitasnya lebih tinggi dari gula rafinasi lainnya.
Yusuf menegaskan, Permenperin sebagai aturan baru harusnya didahului dengan uji publik dari hulu ke hilir secara komprehensif, yang melibatkan perusahaan produsen dan industri pengguna seperti industri dan pelaku UMKM makanan minuman, sehingga tidak berdampak merugikan para pihak yang bergantung dari mata rantai aturan tersebut.
Jika berdampak merugikan bahkan menyulitkan para pihak dalam berusaha, apalagi terhadap UMKM, Permenperin tersebut justru bertentangan dengan semangat Omnibus Law yang berupaya memberikan kemudahan berusaha, kemudahan perizinan, dan perlindungan terhadap UMKM.
“Permenperin ini dapat mendorong pemusatan impor gula hanya pada kelompok atau perusahaan tertentu yang berdampak merugikan industri makanan minuman, mengancam keberlangsungan UMKM, dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Karena itu, sebaiknya perlu ditinjau ulang oleh Menteri,” tegas dia. (RUL)