Industri fintech di Indonesia terus tumbuh yang ditunjukkan dengan semakin banyaknya penyelenggara fintech berlisensi, ragam solusi jasa keuangan yang ditawarkan serta adopsi di pasar
JAKARTA. Industri fintech di Indonesia terus tumbuh yang ditunjukkan dengan semakin banyaknya penyelenggara fintech berlisensi, ragam solusi jasa keuangan yang ditawarkan serta adopsi di pasar. Namun demikian, industri fintech masih menghadapi sejumlah tantangan agar bisa terus berkembang, termasuk maraknya pinjaman online (Pinjol) illegal yang bisa menggerus kepercayaan masyarakat. Guna mengatasi masalah ini, perlu komitmen dan kolaborasi yanag melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
Ketua Dewan Pengawas Asosasi Fintech Indonesia (AFTECH) Rudiantara mengatakan, dalam beberapa tahun industri fintech terus berkembang. Ini bisa dilihat dari jumlah perusahaan fintech rintisan yang terdaftar sebagai anggota AFTECH meningkat dari 24 menjadi 275 pada akhir tahun 2019, dan pada akhir kuartal II tahun 2021 sudah mencapai 335.
“Jenis solusi fintech yang tersedia di pasar juga bervariasi, dari yang awalnya hanya Pembayaran Digital dan Pinjaman Online hingga kini mencakup dari lebih dari 20 model bisnis (vertikal) fintech seperti Aggregator, Innovative Credit Scoring, Perencana Keuangan, Layanan Urun Dana (Equity Crowdfunding), dan Wealth Management,” ujarnya.
Berdasarkan statistik Bank Indonesia (BI), jumlah instrumen e-Money di Indonesia telah mencapai 513.968.693 pada Agustus 2021. Pada periode yang sama, akumulasi penyaluran pinjaman oleh fintech lending mencapai Rp249 triliun kepada 68,41 juta penerima pinjaman, merujuk data Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Industri fintech juga ikut berperan meningkatkan minat masyarakat berinvestasi, khususnya generasi muda. Berdasarkan data PT Bursa Efek Indonesia (BEI), investor dari kalangan milenial dan generasi Z mendominasi jumlah investor di pasar modal pada tahun ini. Tercatat, jumlah investor dengan usia di bawah 40 tahun mencapai 1,91 juta orang atau 78,4% dari total investor sekitar 2,4 juta orang pada Juni 2021. Sementara khusus investor berusia 18-25 tahun, jumahnya 375 ribu atau 47,4% dari total investor baru pada 2021.
“Salah satu faktor yang menyebabkan jumlah investor naik signifikan adalah dukungan infrastruktur teknologi informasi dan simplifikasi pembukaan rekening. Data menunjukkan bahwa lebih dari 60% investor memiliki rekening di agen penjual fintech,” kata Rudiantara.
Tantangan
Menurut Rudiantara, pesatnya pertumbuhan industri fintech di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain investasi di industri fintech yang kian meningkat, jumlah penduduk usia kerja yang tinggi, penetrasi internet Serta jumlah pengguna ponsel dan media sosial yang tumbuh dengan cepat; banyaknya kelompok masyarakat yang belum tersentuh layanan perbankan (unbanked dan underbanked), serta regulasi yang kondusif.
Melihat tren yang ada, industri fintech diperkirakan tetap tumbuh dan berkembang di tahun-tahun mendatang. Namun demikian, industri fintech juga menghadapi sejumlah tantangan antara lain rendahnya literasi keuangan, infrastruktur dasar, dan modal/sumber daya yang terbatas, terutama di daerah-daerah non-metropolitan.
Selain itu, industri fintech di Tanah Air juga menghadapi tantangan lain berupa maraknya pinjol ilegal yang memengaruhi persepsi masyarakat terhadap industri fintech yang justru mengutamakan keamanan, di samping kemudahan dan kenyamanan.
“Sebagai wadah bagi perusahaan fintech, AFTECH memandang serius persoalan Pinjol ilegal dan tidak tinggal diam. AFTECH telah melakukan berbagai langkah dan berkomitmen untuk terus berupaya mengatasi Pinjol ilegal, temasuk melalui langkah kolaboratif bersama regulator dan para pemangku kepentingan,” tegas Rudiantara.
AFTECH terus bekerja sama dengan regulator dan para pemangku kepentingan dalam melakukan edukasi dan sosilisasi untuk meningkatkan literasi masyarakat mengenai fintech, yang salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pinjol ilegal.
Belum lama ini, AFTECH bekerja sama dengan regulator dan pihak-pihak terkait telah meluncurkan situs www.cekfintech.id. Situs ini dapat menjadi saluran bagi masyarakat untuk mengenal dan mengidentifikasi pinjol ilegal, serta menjadi wadah untuk meningkatkan edukasi dan literasi mengenai fintech. Masyarakat juga dapat memeriksa rekening bank yang diduga terindikasi tindak pidana melalui interkoneksi situs www.cekrekening.id yang diinisiasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Sebelumnya pada September 2019, AFTECH, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama (AFPI), dan Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI) telah meluncurkan Joint Code of Conduct atau Pedoman Perilaku Penyelenggara Teknologi Finansial di Sektor Jasa Keuangan yang Bertanggung Jawab. Pedoman Perilaku tersebut mewajibkan setiap penyelenggara fintech untuk mematuhi setiap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen yang berlaku, termasuk ketentuan peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan perlindungan konsumen dari pihak-pihak yang terlibat di dalam kegiatan penyelenggaraan fintech. Pedoman Perilaku tersebut melarang setiap penyelenggara fintech menggunakan pihak ketiga pendukung ekosistem Fintech yang tergolong dalam daftar hitam otoritas dan/atau asosiasi-ssosiasi fintech, termasuk pinjol ilegal.
“Kami juga memiliki Badan Dewan Kehormatan/Etik yang tugasnya menegakan penerapan Kode Etik anggota AFTECH. Jadi sudah ada prosesnya dan kami pun sudah pernah mencabut keanggotaan member yang memang terbukti menyalahi aturan. Ke depannya, kami akan terus meningkatkan kolaborasi dengan regulator dan para pemangku kepentingan guna memastikan terciptanya tata kelola industri fintech yang baik dan penerapan prinsip-prinsip perlindungan konsumen,” tandas Rudiantara.
Identitas Digital
Sati Rasuanto, Wakil Sekretaris Jenderal IV AFTECH dan Co-founder, CEO VIDA menambahkan, praktik penyalahgunaan data pribadi konsumen oleh fintech ilegal menjadi sumber berbagai masalah identity fraud, mulai dari kerugian materiil hingga berkurangnya rasa percaya masyarakat terhadap layanan keuangan digital yang legal. Di sinilah layanan identitas digital yang aman memainkan peran kunci untuk mengembalikan dan memperkuat kepercayaan masyarakat.
Identitas Digital adalah berbagai informasi online atau catatan digital tentang individu maupun suatu Lembaga seperti tanggal lahir, nomor paspor, riwayat medis, dan bisa juga berupa rekam jejak aktivitas digital seperti postingan di media sosial, riwayat web search, dan sebagainya. Identitas digital mengunakan sistem autentikasi dan keamanan yang canggih untuk mencegah pemalsuan, pencurian, ataupun kehilangan.
“Penggunaan layanan identitas digital yang aman seperti tanda tangan elektronik yang tersertifikasi bisa menjadi solusi yang dapat meminimalisasi peluang penyalahgunaan data pribadi karena mampu melakukan verifikasi data pengguna secara aman. Dalam jangka panjang, identitas digital yang aman dapat meningkatkan rasa aman dan kepercayaan masyarakat terhadap fintech dan optimisme terhadap ekonomi digital nasional,” ujar Sati. (RUL)