advertisements
advertisements
advertisements

Nasib Tiga Benih Reformasi 1998 (DPD, MK, KPK) di Tanah Gersang

Oleh : Afriadi Sanusi, PhD (Aktivis Anti Korupsi Dan Good Governance)

Hidup segan, mati tak mau, bagaikan kerakap tumbuh di batu itulah falsafah yang sesuai untuk masa ini. Bagaikan anak ayam yang kematian induk akibat disambar elang yang jahat, zalim dan kejam. Bagaikan timun bongkok yang masuk karung tapi tidak diperhitungkan, datangnya tidak menambah, perginya tidak mengurangkan.

Sepintas kita akan berpikir, pantas saja bangsa ini dijajah ratusan tahun lamanya, sedangkan mental terjajah itu masih wujud jelas dan nyata hingga ke hari ini.

Bangsa yang merdeka jiwa dan raga, memiliki harga diri, maruah dan jati diri dengan idealisme, integritas semakin susah ditemui.

Bahkan tokoh yang dulu saya kagumi dan harapkan menjadi pondasi perubahan bangsa ini menjadi syuùl khatimah yang tidak saya hargai lagi.

Terjajah atau mintak dijajah akibat tersandara oleh logik tahayul mitos dedemit yang sekan menjadi tuhan baru dalam negeri.

Akibatnya Negara dan Bangsa akan berjalan seperti orang mabuk yang melangkah selangkah ke hadapan tetapi mundurnya dua langkah ke belakang.

Patutlah bertanya kerbau ke pedati, lamakah lagi tempat tujuan, penat berjalan tak sampai jua

Tiga produk reformasi yang diharapkan akan membawa islah, perubahan spektakuler dan mendasar ke arah yang lebih baik bangsa ini nampaknya semakin jauh panggang dari api.

Tanyalah apa saja reform perubahan spektakuler islah yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Daerah yang spektakuler selama ini?

Adakah daerah yang kaya sumber alamnya yang bangkit menjadi kekuatan ekonomi baru dalam negara?

Keputusan MK tentang hasil pemilihan Presiden menurut banyak pihak juga tidak sejalan dengan ruh dan semangat serta cita-cita reformasi 1998 yang telah diperjuangkan anak bangsa melalui keringat, darah dan nyawa.

KPK juga dinilai gagal dalam memberantas korupsi yang menjadi musuh kepada kemajuan dan kebangkitan setiap negara.

Di saat rangking CPI Malaysia di bawah kepemimpinan Anwar Ibrahim naik menjadi 57 dengan score 50, Indonesia justru sebaliknya mendapat rangking merah 115 dengan score 34 dengan IP Nasib satu koma (Nasakom) yang sangat memalukan.

Semua berawal dari akibat benih yang baik yang tumbuh di tanah yang gersang. Tiadanya political will kemauan politik pemimpin akibat ketiadaan ilmu, konsep, gagasan dan wawasan.

Padahal kebangkitan dan perubahan setiap negara di awali dengan lahirnya seorang pemimpin yang berkualitas bukan pemimpin kelabu asap kata orang Malaysia.

Saya pikir sudah tiba masanya anak bangsa mengucapkan selamat datang zaman kegelapan dimana kemiskinan, pengangguran, kejahatan yang menjadi aset untuk mempertahankan kepemimpinan yang buruk kualitasnya harus tetap dipelihara persentasenya.

 

advertisements

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× HUBUNGI KAMI